Rabu, 18 April 2012

Mengorganisasi Kebangkitan: antara Kesatuan dan Kawasan

“Sekiranya Islam telah menjadi pandangan internasional dan kebangkitan Islam telah meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas lagi, maka gerakan-gerakan kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian yang integratif dan bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Di Arab terdapat organisasi-organisasi nasional seperti Ba'ath dan Nasionalisme Arab. Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut Tahrir al-Islam (yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme yang cenderung berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang kurang berpengaruh.
Organisasi-organisasi Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis, al-Ikhwan al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak laju perkembangannya.
Dinamika kultural yang bervariasi dan keberadaan berbagai organisasi mendorong perluasan dakwah Islam. Dalam kenyataan, berbagai organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kawasan yang tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan dan kerja sama, melainkan hanya didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol kepemimpinan dan nama yang satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan al-Muslimun adalah kelebihannya dalam berorganisasi.
Ada pula organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia, dan daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori fikih yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan sebagai jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode penyebaran dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab seluruhnya dan belahan dunia lainnya.
Walaupun kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam, namun tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan Kawasan
1. Keseimbangan Tauhid
Agama tauhid merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan merupakan nilai esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan kontribusi nyata. Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar keseimbangan agama, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam Islam.
Islam menjaga keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik. Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw. tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi, Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana (misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah: 62, Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun: 51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Simak pula hadits-hadits tentang keutamaan bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waklu, kemudian lihatlah keutamaan umat dan makna-makna persatuannya).
Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan (terutama dalam hal informasi dan pemikiran, --peny.), maka dakwah Islam dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Karena terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya. Ikatan antar masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa nafsunya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal. Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam menyatukan umat secara keseluruhan dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas keagamaan yang paling tinggi. Konsepsi Islam menghendaki negara dalam batas-batas yang luas di muka bumi dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai pemersatu dan kepemimpinan yang paling besar.
Negara harus selalu terbuka untuk umat, bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk kerja sama dan bersikap transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dijaga kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi dan perjanjian negara.
Hendaknya negara menimbang kemampuan pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan daerah-daerah, serta komunitas dan kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu menyeimbangkan hak-hak mereka dengan hak penguasa pusat. Dalam hal ini, negara-negara Arab merupakan contoh yang baik. Hanya saja model ini harus diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang, dalam pengertian tidak harus berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap mengarah pada terbentuknya negara yang lebih luas kawasannya dan lebih komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab harus mengakar pada wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama mengacu pada tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
2. Metode Integrasi
Sesungguhnya realitas Islam-Arab berangkat dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas kuat yang dijamin oleh pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan fanatisme warganya. Di balik itu terdapat pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan, kebaikan, dan optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja sama.
Hal mendesak yang mesti diupayakan oleh gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model integrasi dan menyatukan negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen mendiskursuskan apa dan bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud. Gerakan-gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menerapkan metode jihad untuk mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin. Gerakan yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di Afrika Barat serta al-Mahdi di Sudan. Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad dan ekspansinya dengan ekspansi orang-orang Islam masa lalu. Semangat pembebasan senantiasa mendorong mereka untuk tidak mengenal permusuhan dan tidak mendambakan tujuan lain selain menebarkan kebajikan bagi sekalian alam. Metode ini dapat diidentikkan dengan apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan dengan masa awal Islam merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa lalu berbentuk imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya. Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota masyarakat, bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada masa silam dan begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada hakikatnya dunia tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila pemerintah Islam menggerakkan revolusi jihad di suatu kawasan tertentu, maka mereka harus menetapkan batasan-batasan dan mengintegrasikan bumi masyarakat muslim di sekitarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode integrasi merupakan metode dominasi. Jika kondisi kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan metode perlawanan yang serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk mencapai keseimbangan antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan melahirkan ketidakstabilan hubungan antar negara tetangga karena dominasi sistem Islam. Mengenai perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan ini dan goncangan dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada keterbatasan dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan hukum-hukum tambahan yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan Islam tidak harus didominasi oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati sebagian penguasa sehingga mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan politik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utama kebangkitan. Mereka memahami bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi keamanan dan stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan kepada gerakan kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap permusuhan dan kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas dan revolusioner sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima perubahan dengan kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan yang didominasi oleh ajakan yang baik, kasih sayang, dan memperhatikan penahapan, dimaksudkan agar pandangan-dunia (worldview, weltanschaung) masyarakat selaras dengan dakwah tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan paksaan. Islam tersebar dengan cara "sejuk" semacam itu di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga mereka memeluk Islam dengan senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya kebangkitan Islam di negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan tersebut dapat terlaksana bila kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan diberi kesempatan menentukan jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa diganggu rezim otoriter dan intervensi negara asing.
Sekiranya Allah SWT menghendaki kita menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan dakwah bertahap tanpa revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat adalah dengan mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan batasan-batasan tajam antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan memperlancar sarana transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen, mendistribusikan kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang berdasarkan syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan motivasi kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana tentang integrasi menghajatkan adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai penjuru dunia.
3. Tanah Air Arab
Jika kita memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi, pluralitas konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara individu-kelompok, negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam, maka benar pula prediksi terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah, dan risalah yang dimulai dari sektor domestik (rumah tangga) hingga publik. Bukankah Arab merupakan masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi kesatuan masyarakat yang selama ini merupakan gugusan negara-negara yang terpecah belah.
Gambaran di atas merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu rumpun secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas bagi integrasi Arab dan kaum muslimin.
Rencana ini akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di Dunia Arab. Di antaranya adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat minoritas non-Arab dan non-muslim, sehingga landasan utama integrasi merupakan masalah y ang harus dipikirkan .
Hal lain adalah bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh dan penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain yang harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi negara-negara di luar Arab.
Merupakan keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini karena nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat Islam. Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran, dan permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi negara-negara muslim.
Meskipun nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai etnis, kultural, dan peradaban Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah pada ideologi etnis dan sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme adalah negara-negara yang mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak memusuhi Islam. Mereka berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik Arab mengedepankan nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara Arab.
Dalam realitas Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan nasionalisme ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh seperti sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh sejarah.
Bila para aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius, kegagalan berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya, sehingga mereka menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar. Tidak ada penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural yang orisinal dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan Islam. Kemungkinan para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab --meskipun motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur-- tetap mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.

Insya Allah, fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan lenyap, sehingga Arab tetap berpegang pada Islam. Pengagungan terhadap integrasi nasionalistis akan tenggelam dalam samudera keagungan Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.”

“Sekiranya Islam telah menjadi pandangan internasional dan kebangkitan Islam telah meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas lagi, maka gerakan-gerakan kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian yang integratif dan bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Di Arab terdapat organisasi-organisasi nasional seperti Ba'ath dan Nasionalisme Arab. Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut Tahrir al-Islam (yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme yang cenderung berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang kurang berpengaruh.
Organisasi-organisasi Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis, al-Ikhwan al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak laju perkembangannya.
Dinamika kultural yang bervariasi dan keberadaan berbagai organisasi mendorong perluasan dakwah Islam. Dalam kenyataan, berbagai organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kawasan yang tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan dan kerja sama, melainkan hanya didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol kepemimpinan dan nama yang satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan al-Muslimun adalah kelebihannya dalam berorganisasi.
Ada pula organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia, dan daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori fikih yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan sebagai jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode penyebaran dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab seluruhnya dan belahan dunia lainnya.
Walaupun kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam, namun tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan Kawasan
1. Keseimbangan Tauhid
Agama tauhid merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan merupakan nilai esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan kontribusi nyata. Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar keseimbangan agama, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam Islam.
Islam menjaga keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik. Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw. tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi, Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana (misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah: 62, Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun: 51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Simak pula hadits-hadits tentang keutamaan bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waklu, kemudian lihatlah keutamaan umat dan makna-makna persatuannya).
Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan (terutama dalam hal informasi dan pemikiran, --peny.), maka dakwah Islam dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Karena terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya. Ikatan antar masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa nafsunya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal. Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam menyatukan umat secara keseluruhan dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas keagamaan yang paling tinggi. Konsepsi Islam menghendaki negara dalam batas-batas yang luas di muka bumi dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai pemersatu dan kepemimpinan yang paling besar.
Negara harus selalu terbuka untuk umat, bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk kerja sama dan bersikap transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dijaga kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi dan perjanjian negara.
Hendaknya negara menimbang kemampuan pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan daerah-daerah, serta komunitas dan kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu menyeimbangkan hak-hak mereka dengan hak penguasa pusat. Dalam hal ini, negara-negara Arab merupakan contoh yang baik. Hanya saja model ini harus diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang, dalam pengertian tidak harus berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap mengarah pada terbentuknya negara yang lebih luas kawasannya dan lebih komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab harus mengakar pada wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama mengacu pada tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
2. Metode Integrasi
Sesungguhnya realitas Islam-Arab berangkat dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas kuat yang dijamin oleh pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan fanatisme warganya. Di balik itu terdapat pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan, kebaikan, dan optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja sama.
Hal mendesak yang mesti diupayakan oleh gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model integrasi dan menyatukan negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen mendiskursuskan apa dan bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud. Gerakan-gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menerapkan metode jihad untuk mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin. Gerakan yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di Afrika Barat serta al-Mahdi di Sudan. Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad dan ekspansinya dengan ekspansi orang-orang Islam masa lalu. Semangat pembebasan senantiasa mendorong mereka untuk tidak mengenal permusuhan dan tidak mendambakan tujuan lain selain menebarkan kebajikan bagi sekalian alam. Metode ini dapat diidentikkan dengan apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan dengan masa awal Islam merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa lalu berbentuk imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya. Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota masyarakat, bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada masa silam dan begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada hakikatnya dunia tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila pemerintah Islam menggerakkan revolusi jihad di suatu kawasan tertentu, maka mereka harus menetapkan batasan-batasan dan mengintegrasikan bumi masyarakat muslim di sekitarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode integrasi merupakan metode dominasi. Jika kondisi kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan metode perlawanan yang serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk mencapai keseimbangan antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan melahirkan ketidakstabilan hubungan antar negara tetangga karena dominasi sistem Islam. Mengenai perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan ini dan goncangan dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada keterbatasan dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan hukum-hukum tambahan yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan Islam tidak harus didominasi oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati sebagian penguasa sehingga mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan politik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utama kebangkitan. Mereka memahami bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi keamanan dan stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan kepada gerakan kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap permusuhan dan kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas dan revolusioner sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima perubahan dengan kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan yang didominasi oleh ajakan yang baik, kasih sayang, dan memperhatikan penahapan, dimaksudkan agar pandangan-dunia (worldview, weltanschaung) masyarakat selaras dengan dakwah tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan paksaan. Islam tersebar dengan cara "sejuk" semacam itu di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga mereka memeluk Islam dengan senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya kebangkitan Islam di negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan tersebut dapat terlaksana bila kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan diberi kesempatan menentukan jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa diganggu rezim otoriter dan intervensi negara asing.
Sekiranya Allah SWT menghendaki kita menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan dakwah bertahap tanpa revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat adalah dengan mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan batasan-batasan tajam antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan memperlancar sarana transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen, mendistribusikan kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang berdasarkan syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan motivasi kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana tentang integrasi menghajatkan adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai penjuru dunia.
3. Tanah Air Arab
Jika kita memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi, pluralitas konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara individu-kelompok, negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam, maka benar pula prediksi terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah, dan risalah yang dimulai dari sektor domestik (rumah tangga) hingga publik. Bukankah Arab merupakan masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi kesatuan masyarakat yang selama ini merupakan gugusan negara-negara yang terpecah belah.
Gambaran di atas merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu rumpun secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas bagi integrasi Arab dan kaum muslimin.
Rencana ini akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di Dunia Arab. Di antaranya adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat minoritas non-Arab dan non-muslim, sehingga landasan utama integrasi merupakan masalah y ang harus dipikirkan .
Hal lain adalah bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh dan penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain yang harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi negara-negara di luar Arab.
Merupakan keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini karena nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat Islam. Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran, dan permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi negara-negara muslim.
Meskipun nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai etnis, kultural, dan peradaban Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah pada ideologi etnis dan sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme adalah negara-negara yang mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak memusuhi Islam. Mereka berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik Arab mengedepankan nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara Arab.
Dalam realitas Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan nasionalisme ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh seperti sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh sejarah.
Bila para aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius, kegagalan berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya, sehingga mereka menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar. Tidak ada penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural yang orisinal dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan Islam. Kemungkinan para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab --meskipun motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur-- tetap mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.
Insya Allah, fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan lenyap, sehingga Arab tetap berpegang pada Islam. Pengagungan terhadap integrasi nasionalistis akan tenggelam dalam samudera keagungan Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar