“Sekiranya
Islam telah menjadi pandangan internasional dan kebangkitan Islam telah
meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas lagi, maka gerakan-gerakan
kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian yang integratif dan
bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Di Arab
terdapat organisasi-organisasi nasional seperti Ba'ath dan Nasionalisme Arab.
Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut Tahrir al-Islam
(yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh Taqiyuddin
an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme yang cenderung
berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang kurang
berpengaruh.
Organisasi-organisasi
Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan
al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan
mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis, al-Ikhwan
al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan
cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau
Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan
tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak laju
perkembangannya.
Dinamika
kultural yang bervariasi dan keberadaan berbagai organisasi mendorong perluasan
dakwah Islam. Dalam kenyataan, berbagai organisasi tersebut merupakan
organisasi-organisasi kawasan yang tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan
dan kerja sama, melainkan hanya didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol
kepemimpinan dan nama yang satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan
al-Muslimun adalah kelebihannya dalam berorganisasi.
Ada pula
organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia, dan
daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori fikih
yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan sebagai
jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan
keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode penyebaran
dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab seluruhnya dan belahan
dunia lainnya.
Walaupun
kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam, namun
tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak
memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan
Kawasan
Agama tauhid
merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan
merupakan nilai esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman
yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan
kontribusi nyata. Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab
tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar
keseimbangan agama, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok
yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah
sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran
tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau
wilayah, menyatu dalam Islam.
Islam menjaga
keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam
adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang
paganistik-syirik. Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan
orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah
Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw.
tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau
primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi,
Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang
lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan
prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana
(misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks
(misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam
paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap
Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah:
62, Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun:
51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Simak pula hadits-hadits tentang keutamaan
bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waklu, kemudian lihatlah keutamaan
umat dan makna-makna persatuannya).
Selama
realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan
mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling
berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan (terutama dalam hal
informasi dan pemikiran, --peny.), maka dakwah Islam dapat dijalankan atas
pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk diselaraskan dengannya,
sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Karena
terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan
dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan
sejalan dengan sejarahnya. Ikatan antar masyarakat diciptakan dalam rangka
beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan
perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat,
maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan
natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan
beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum
muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional,
dan sosial yang dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme
nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola
hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di
bawah hawa nafsunya.
Dalam kondisi
absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari
duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas
menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal.
Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi
yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di
atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula
kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk
merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam
menyatukan umat secara keseluruhan dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas
keagamaan yang paling tinggi. Konsepsi Islam menghendaki negara dalam
batas-batas yang luas di muka bumi dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai
pemersatu dan kepemimpinan yang paling besar.
Negara harus
selalu terbuka untuk umat, bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk
kerja sama dan bersikap transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang harus dijaga kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi
dan perjanjian negara.
Hendaknya
negara menimbang kemampuan pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan
daerah-daerah, serta komunitas dan kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu
menyeimbangkan hak-hak mereka dengan hak penguasa pusat. Dalam hal ini,
negara-negara Arab merupakan contoh yang baik. Hanya saja model ini harus
diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang, dalam pengertian tidak harus
berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap mengarah pada terbentuknya negara yang
lebih luas kawasannya dan lebih komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab
harus mengakar pada wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama
mengacu pada tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
Sesungguhnya
realitas Islam-Arab berangkat dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas
kuat yang dijamin oleh pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin
kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan fanatisme warganya. Di balik itu terdapat
pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan, kebaikan, dan
optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan
bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja
sama.
Hal mendesak
yang mesti diupayakan oleh gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model
integrasi dan menyatukan negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen
mendiskursuskan apa dan bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud.
Gerakan-gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah
menerapkan metode jihad untuk mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin.
Gerakan yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di
Afrika Barat serta al-Mahdi di Sudan. Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad
dan ekspansinya dengan ekspansi orang-orang Islam masa lalu. Semangat
pembebasan senantiasa mendorong mereka untuk tidak mengenal permusuhan dan
tidak mendambakan tujuan lain selain menebarkan kebajikan bagi sekalian alam.
Metode ini dapat diidentikkan dengan apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan
dengan masa awal Islam merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa
lalu berbentuk imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya
negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya.
Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota masyarakat,
bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada masa silam dan
begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada hakikatnya dunia
tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila
pemerintah Islam menggerakkan revolusi jihad di suatu kawasan tertentu, maka
mereka harus menetapkan batasan-batasan dan mengintegrasikan bumi masyarakat
muslim di sekitarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode integrasi merupakan
metode dominasi. Jika kondisi kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan
metode perlawanan yang serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk
mencapai keseimbangan antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan
melahirkan ketidakstabilan hubungan antar negara tetangga karena dominasi
sistem Islam. Mengenai perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan
ini dan goncangan dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada
keterbatasan dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan
hukum-hukum tambahan yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan
Islam tidak harus didominasi oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati
sebagian penguasa sehingga mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan
politik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utama kebangkitan. Mereka memahami
bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi keamanan dan
stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan kepada gerakan
kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap permusuhan dan
kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas dan revolusioner
sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima perubahan dengan
kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan
yang didominasi oleh ajakan yang baik, kasih sayang, dan memperhatikan
penahapan, dimaksudkan agar pandangan-dunia (worldview, weltanschaung)
masyarakat selaras dengan dakwah tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan
paksaan. Islam tersebar dengan cara "sejuk" semacam itu di kalangan
masyarakat jahiliah. Mereka merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga
mereka memeluk Islam dengan senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya
kebangkitan Islam di negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan
tersebut dapat terlaksana bila kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan
diberi kesempatan menentukan jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa
diganggu rezim otoriter dan intervensi negara asing.
Sekiranya
Allah SWT menghendaki kita menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan
dakwah bertahap tanpa revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat
adalah dengan mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan
batasan-batasan tajam antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah
pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan
memperlancar sarana transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen,
mendistribusikan kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang
berdasarkan syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan
motivasi kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi
tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana
tentang integrasi menghajatkan adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai
penjuru dunia.
Jika kita
memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi, pluralitas
konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara individu-kelompok,
negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam, maka benar pula prediksi
terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah, dan risalah yang dimulai dari
sektor domestik (rumah tangga) hingga publik. Bukankah Arab merupakan
masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi kesatuan masyarakat yang selama
ini merupakan gugusan negara-negara yang terpecah belah.
Gambaran di
atas merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga
wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu rumpun
secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab
merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara
muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab
atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai
berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas bagi
integrasi Arab dan kaum muslimin.
Rencana ini
akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di Dunia Arab. Di antaranya
adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat minoritas non-Arab dan
non-muslim, sehingga landasan utama integrasi merupakan masalah y ang harus
dipikirkan .
Hal lain
adalah bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh
dan penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan
peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain
yang harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah
mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga
kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi
negara-negara di luar Arab.
Merupakan
keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok
nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis
menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini karena
nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat Islam.
Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran
sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran, dan
permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi,
perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat
direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi
negara-negara muslim.
Meskipun
nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai etnis, kultural, dan peradaban
Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah pada ideologi etnis dan
sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme adalah negara-negara yang
mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak memusuhi Islam. Mereka
berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik Arab mengedepankan
nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara Arab.
Dalam
realitas Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan
nasionalisme ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh
seperti sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan
kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak
imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan
menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program
tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme
tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif
sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan
solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi
metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek
kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat
berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan
memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh sejarah.
Bila para
aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat
menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak
dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan
di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum
nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius, kegagalan
berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya, sehingga mereka
menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar. Tidak ada
penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural yang orisinal
dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan Islam. Kemungkinan
para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab --meskipun
motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur-- tetap
mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.
Insya Allah,
fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan lenyap,
sehingga Arab tetap berpegang pada Islam. Pengagungan terhadap integrasi
nasionalistis akan tenggelam dalam samudera keagungan Islam. Wallahu a'lam
bish-shawab.”
“Sekiranya
Islam telah menjadi pandangan internasional dan kebangkitan Islam telah
meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas lagi, maka gerakan-gerakan
kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian yang integratif dan
bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Di Arab
terdapat organisasi-organisasi nasional seperti Ba'ath dan Nasionalisme Arab.
Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut Tahrir al-Islam
(yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh Taqiyuddin
an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme yang cenderung
berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang kurang
berpengaruh.
Organisasi-organisasi
Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan
al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan
mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis, al-Ikhwan
al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan
cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau
Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan
tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak laju
perkembangannya.
Dinamika
kultural yang bervariasi dan keberadaan berbagai organisasi mendorong perluasan
dakwah Islam. Dalam kenyataan, berbagai organisasi tersebut merupakan
organisasi-organisasi kawasan yang tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan
dan kerja sama, melainkan hanya didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol
kepemimpinan dan nama yang satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan
al-Muslimun adalah kelebihannya dalam berorganisasi.
Ada pula
organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia, dan
daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori fikih
yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan sebagai
jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan
keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode penyebaran
dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab seluruhnya dan belahan
dunia lainnya.
Walaupun
kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam, namun
tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak
memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan
Kawasan
Agama tauhid
merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan
merupakan nilai esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman
yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan
kontribusi nyata. Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab
tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar
keseimbangan agama, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok
yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah
sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran
tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau
wilayah, menyatu dalam Islam.
Islam menjaga
keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam
adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang
paganistik-syirik. Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan
orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah
Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw.
tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau
primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi,
Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang
lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan
prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana
(misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks
(misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam
paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap
Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah:
62, Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun:
51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Simak pula hadits-hadits tentang keutamaan
bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waklu, kemudian lihatlah keutamaan
umat dan makna-makna persatuannya).
Selama
realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan
mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling
berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan (terutama dalam hal
informasi dan pemikiran, --peny.), maka dakwah Islam dapat dijalankan atas
pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk diselaraskan dengannya,
sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Karena
terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan
dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan
sejalan dengan sejarahnya. Ikatan antar masyarakat diciptakan dalam rangka
beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan
perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat,
maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan
natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan
beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum
muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional,
dan sosial yang dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme
nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola
hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di
bawah hawa nafsunya.
Dalam kondisi
absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari
duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas
menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal.
Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi
yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di
atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula
kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk
merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam
menyatukan umat secara keseluruhan dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas
keagamaan yang paling tinggi. Konsepsi Islam menghendaki negara dalam
batas-batas yang luas di muka bumi dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai
pemersatu dan kepemimpinan yang paling besar.
Negara harus
selalu terbuka untuk umat, bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk
kerja sama dan bersikap transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang harus dijaga kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi
dan perjanjian negara.
Hendaknya
negara menimbang kemampuan pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan
daerah-daerah, serta komunitas dan kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu
menyeimbangkan hak-hak mereka dengan hak penguasa pusat. Dalam hal ini,
negara-negara Arab merupakan contoh yang baik. Hanya saja model ini harus
diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang, dalam pengertian tidak harus
berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap mengarah pada terbentuknya negara yang
lebih luas kawasannya dan lebih komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab
harus mengakar pada wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama
mengacu pada tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
Sesungguhnya
realitas Islam-Arab berangkat dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas
kuat yang dijamin oleh pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin
kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan fanatisme warganya. Di balik itu terdapat
pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan, kebaikan, dan
optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan
bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja
sama.
Hal mendesak
yang mesti diupayakan oleh gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model
integrasi dan menyatukan negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen
mendiskursuskan apa dan bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud.
Gerakan-gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah
menerapkan metode jihad untuk mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin.
Gerakan yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di
Afrika Barat serta al-Mahdi di Sudan. Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad
dan ekspansinya dengan ekspansi orang-orang Islam masa lalu. Semangat
pembebasan senantiasa mendorong mereka untuk tidak mengenal permusuhan dan
tidak mendambakan tujuan lain selain menebarkan kebajikan bagi sekalian alam.
Metode ini dapat diidentikkan dengan apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan
dengan masa awal Islam merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa
lalu berbentuk imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya
negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya.
Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota masyarakat,
bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada masa silam dan
begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada hakikatnya dunia
tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila
pemerintah Islam menggerakkan revolusi jihad di suatu kawasan tertentu, maka
mereka harus menetapkan batasan-batasan dan mengintegrasikan bumi masyarakat
muslim di sekitarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode integrasi merupakan
metode dominasi. Jika kondisi kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan
metode perlawanan yang serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk
mencapai keseimbangan antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan
melahirkan ketidakstabilan hubungan antar negara tetangga karena dominasi
sistem Islam. Mengenai perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan
ini dan goncangan dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada
keterbatasan dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan
hukum-hukum tambahan yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan
Islam tidak harus didominasi oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati
sebagian penguasa sehingga mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan
politik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utama kebangkitan. Mereka memahami
bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi keamanan dan
stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan kepada gerakan
kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap permusuhan dan
kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas dan revolusioner
sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima perubahan dengan
kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan
yang didominasi oleh ajakan yang baik, kasih sayang, dan memperhatikan
penahapan, dimaksudkan agar pandangan-dunia (worldview, weltanschaung)
masyarakat selaras dengan dakwah tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan
paksaan. Islam tersebar dengan cara "sejuk" semacam itu di kalangan
masyarakat jahiliah. Mereka merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga
mereka memeluk Islam dengan senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya
kebangkitan Islam di negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan
tersebut dapat terlaksana bila kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan
diberi kesempatan menentukan jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa
diganggu rezim otoriter dan intervensi negara asing.
Sekiranya
Allah SWT menghendaki kita menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan
dakwah bertahap tanpa revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat
adalah dengan mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan
batasan-batasan tajam antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah
pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan
memperlancar sarana transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen,
mendistribusikan kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang
berdasarkan syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan
motivasi kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi
tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana
tentang integrasi menghajatkan adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai
penjuru dunia.
Jika kita
memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi, pluralitas
konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara individu-kelompok,
negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam, maka benar pula prediksi
terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah, dan risalah yang dimulai dari
sektor domestik (rumah tangga) hingga publik. Bukankah Arab merupakan
masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi kesatuan masyarakat yang selama
ini merupakan gugusan negara-negara yang terpecah belah.
Gambaran di
atas merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga
wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu rumpun
secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab
merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara
muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab
atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai
berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas bagi
integrasi Arab dan kaum muslimin.
Rencana ini
akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di Dunia Arab. Di antaranya
adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat minoritas non-Arab dan
non-muslim, sehingga landasan utama integrasi merupakan masalah y ang harus
dipikirkan .
Hal lain
adalah bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh
dan penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan
peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain
yang harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah
mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga
kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi
negara-negara di luar Arab.
Merupakan
keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok
nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis
menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini karena
nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat Islam.
Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran
sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran, dan
permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi,
perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat
direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi
negara-negara muslim.
Meskipun
nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai etnis, kultural, dan peradaban
Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah pada ideologi etnis dan
sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme adalah negara-negara yang
mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak memusuhi Islam. Mereka
berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik Arab mengedepankan
nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara Arab.
Dalam
realitas Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan
nasionalisme ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh
seperti sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan
kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak
imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan
menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program
tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme
tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif
sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan
solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi
metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek
kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat
berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan
memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh sejarah.
Bila para
aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat
menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak
dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan
di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum
nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius, kegagalan
berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya, sehingga mereka
menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar. Tidak ada
penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural yang orisinal
dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan Islam. Kemungkinan
para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab --meskipun
motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur-- tetap
mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.
Insya Allah,
fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan lenyap,
sehingga Arab tetap berpegang pada Islam. Pengagungan terhadap integrasi
nasionalistis akan tenggelam dalam samudera keagungan Islam. Wallahu a'lam
bish-shawab.”